Kalau mak Hana kesulitan terkait ijin suami, saya justru mendapat dukungan penuh dari suami. Kesulitan justru saya temui saat di kantor Polres (waktu itu tahun 2005, jadi penyelenggaraan masih Polres). Dari mulai tahap mengisi berkas hingga tes tulis maupun praktek.
Dari awal keberangkatannya, saya sudah menemui sedikit masalah. Di tengah perjalanan, motor saya di stop petugas polisi. Alasannya pemeriksaan surat-surat. Duh, deg-degan pastinya. Wong suratnya nggak lengkap. Dan hal yang saya khwatirkan terjadi. Saat ditanyai SIM, tentu saja saya tidak bisa menunjukkan, karena memang belum punya. Ketika saya katakan bahwa saya berniat untuk bikin SIM, pak polisi justru bilang:'' Halah mbak, hampir semua pengendara yang kena razia bilangnya seperti itu''. Duuh, pak polisi, kalau saya sih jujur. Betul-betul mau bikin SIM. Beruntung saya membawa form hasil tes mata yang memang sudah saya lakukan dua hari sebelumnya. Fuih...! Alhamdulillah, saya lolos.
Tiba di kantor Polres, seperti yang sudah saya duga sebelumnya, kantor sudah penuh sesak oleh peserta tes tulis dan praktek. Kebetulan saya datang hari Sabtu, yang memang hari favorit karyawan kantoran. Itupun saya sudah mengupayakan jam 7.00 tiba di lokasi. Ternyata banyak yang lebih pagi dari saya. Awal perjuanganpun di mulai. Dari mulai mengisi formulir, mengurus kartu Jasa Raharja hingga antri menunggu dipanggil untuk tes tulis. Oya, biaya yang harus saya keluarkan sebesar 105 ribu.
Dan perjuangan belumlah usai. Saya harus antri selama 4 jam menunggu di panggil untuk tes tulis. Sempat heran juga, kok begitu lama saya tdak juga dipanggil untuk masuk ke ruangan. Padahal orang-orang yang datang dan memasukkan berkas belakangan, satu persatu sudah mulai masuk. Saat saya konfrmasi kepada petugas, ternyata oh ternyata, berkas saya di taruh di kursi, dan tidak sengaja si petugas duduk di atas berkas saya. Mau nangis rasanya saat itu. Akhirnya, setengah kesal saya paksa petugas untuk mengurus berkas saya secepatnya. Alhamdulillah, setengah jam kemudian saya masuk. Bisa dibayangkan, saya menunggu dari jam 9 pagi sampai jam setengah 2 siang, baru bisa masuk ruangan. Selama itu pula,saya tidak sempat makan siang dan sholat Dzuhur. Karena khawatir saat saya dipanggil, saya sedang tidak ada.
Jam 14. 30 saya selesai dan langsung menuju mushola untuk sholat Dzuhur. Astaghfirullah, lalai banget ya saya. Mohon ampuun ya Allah. Lalu, saya lulus? Oo..tentu tidak. Saya tidak lulus!. Dari 30 soal yang diberikan, jawaban saya yang benar hanya 13, sisanya salah. Sedangkan untuk kelulusan, jumlah jawaban salah tidak boleh lebih dari 10.
''Bu Ririn, tidak lulus. Minggu depan balik lagi ya.'' Suara merdu petugas yang lumayan ganteng, tetap tidak menghibur saya di tengah rasa kecewa.
Minggu berikutnya, saya datang lagi. Kali ini, saya duduk sebangku dengan seorang guru TK,yang kebetulan sudah tes 2 kali. Dan ini adalah yang ke 3 kalinya. Berarti sudah sedikit pengalaman dong dengan tes-tes sebelumnya. Tentu saja saya senang, biar bisa nyontek, pikir saya. Dan ternyata, soalnya tidak sama. Sebetulnya sama, tapi di acak. Haduuh...! Dan, untuk yang kedua kalinya saya dinyatakan tidak lulus. Sedangkan teman sebangku saya akhirnya lulus. Oleh petugas yang berbeda dari yang bersuara merdu lumayan ganteng, saya diminta untuk datang dua hari lagi.
Tes ke tiga, alhamdulillah saya lulus. Jumlah jawaban saya yang salah ada 9, langsung menuju tahap selanjutnya yaitu tes praktek. Saya pede banget, bakalan lulus nih. Secara saya kan ratu jalanan. Urusan salip-menyalip saya juaranya. Dan mungkin, pikiran itulah yang akhirnya membuat saya menjadi takabur. Dari mulai starter motor saya sudah gugup. Sebetulnya bukan tanpa alasan juga sih. Bayangkan aja, saat saya sedang melakukan tes praktek, sementara puluhan pasang mata menonton di sekeliling halaman. Gimana nggak gugup?. Ditambah selama praktek, saya harus mengendarai motor milik kantor Polres, yang kebetulan beda merk dengan yang saya punya. Belum lagi harus mengenakan helm putih yang biasa dipakai polisi pengawal. Amboi...beratnya!. Akhirnya satu-persatu balok pembatas berjatuhan. Tidak hanya itu, kaki saya menyentuh tanah. Lengkaplah sudah kesalahan saya. Hingga akhirnya saya dinyatakan gagal, dan diminta kembali minggu depan.
Rasanya saya hampir putus asa saat itu. Apalagi saat melihat beberapa mereka yang tes prakteknya lebih jelek dari saya justru langsung ke ruang foto. Ya, saya tahu, mereka harus mengeluarkan sejumlah uang untuk itu. Sedangkan saya berprinsip, kalau saya bikin SIM, harus dengan cara yang sesuai prosedur. Dan untuk yang ke dua kalinya saya tes praktek. Ternyata, setelah melakukan lobi dengan petugas, saya diperbolehkan mengendarai motor sendiri. ''Kenapa gak dari kemarin sih, Pak''
Dengan tak lupa mengucap Bismillah dan Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah (bukan pikiran-pikiran takabur lagi ya hehe) saat starter, akhirnya satu-persatu balok saya taklukan. Tapi...uupss! Satu kali kaki saya menyentuh tanah. Waduh, bagaimana ini. Kalau disuruh kembali minggu depan, rasanya saya tidak sanggup. Karena sudah memasuki bulan Ramadan.
Beruntuung sekali saya punya wajah memelas. Mungkin si bapak petugas, merasa gak tega, hingga akhirnya tulisan beliau yang awalnya TL (tidak lulus), dicoret menjadi L besaaar. Dan akhinya, sebotol Pocari dingin saya hadiahkan sebagai rasa terima kasih terhadap beliau. Makasih ya pak..! *peluk, eh cium tangan*
Saat sesi pemotretan untuk tahap akhir pembuatan SIM:
''Kok foto yang ada di SIM beda sama yang di KTP?'' Begitu tanya petugas di Polres begitu SIMnya selesai dibuat. ''Iya lah Pak, saya berjemur di halaman depan kantor Polres selama 1,5 jam untuk antri tes praktek. Kalau KTP kan memang di photosop (waktu itu belum sistem E-KTP). Makanya jadi beda banget dengan foto SIM. Yang satu terang, satunya lagi gelap. Tapi, it's okay lah, yang penting akhirnya daku punya SIM. Horee...!
Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Kinzihana